Diperkirakan
pada abad ke-XV berdirinya Kerajaan Cirebon, perkembangan Agama Islam
yang diberikan oleh Sunan Gunung Jati begitu berat sehingga tidak heran
apabila dari berbagai penjuru berdatangan ingin berguru belajar Agama
Islam pada Sunan Gunung Jati.
Disitu para
santri di didik menimba ilmu, baik lahir maupun batin. Dan setelah
dianggap cukup menguasai ilmunya, maka para santri diberi beban dan
tanggung jawabnya untuk menjadi seorang guru di daerah atau padukuhannya
masing-masing.
Pada sebuah
padukuhan yang dipimpin oleh Ki Demang Martapura dan Ki Demang Rengas
Papak masyarakatnya subur makmur. Karena dirinya merasa berjasa maka
timbullah hati yang busuk, dan dalam mengemban tugas, ia mengatur dengan
seenaknya tanpa memperhatikan kepentingan umum dan perasaan orang
banyak.
Pada suatu saat,
Ki Demang Martapura dan Ki Demang Rengas Papak menghadap kepada Sunan
Gunung Jati, maksud dan tujuannya agar mereka diberi suatu jabatan yang
lebih tinggi dalam pemerintahan. Tapi sayang, harapan tersebut kandas,
karena Sunan Gunung Jati memberikan jabatan hanya untuk mengurus kuda.
Keduanya dengan sangat terpaksakarena tugas tersebut sangat bertolak
belakang dengan keinginannya.
Sesungguhnya
Sunan Gunung Jati mengujinya, sampai dimana kejujuran dan tanggung jawab
tersebut. dalam hati kecil Ki Demang Rengas Papak sangat menyesal
(keduhung) kalau begini maka tak usah meminta jabatan yang lebih tinggi
lagi.
" Hai,, Ki
Demang Martapura, awak ira aja grubug jare manira sanggup nglakoni apa
kang den parentah. Wak ingsun angaweruhi ta sira minangka pingpinan
pedukuhan. Ingsun ugah weru yen ta sira iku sing babad alas. Ananing
kanggo dadi pingpinan, ora cukup tudang tuding kewala, tangga tonggo,
yen mengkonon cara nira jadi pemingpin, sira tan bakal tinemu derajat
kang genja, during ngrasakan wis ilang sarie lan sira mengko keduhung
ning buri manira kinon angurus jaran, kang den pamrih sira bias
rumasakaken jembangane ati wong cilik, wis saiki aja keduhung " ujare
Sunan Gunung Jati.
Terjemahannya :
" Hai,, Ki
Demang Martapura, engkau jangan berdusta. Katanya kau sanggup
melaksanakan apa yang pernah ku perintahkan. Aku mengetahui, kamulah
pemimpin pedukuhan, dan aku pun tau jika engkaulah yang membuka hutan
ini. Akan tetapi untuk menjadi pemimpin, tidak cukup tuding-tuding saja,
menunggu-nunggu. Andaikan caramu memimpin demikian, mustahil engkau
akan berhasil, tidak akan merasakan hasilnya, dan juga akan menyesal
dikemudian hari, oleh sebab itu aku beri tugas memelihara kuda, agar
kamu merasakan bagaimana hati sanubari orang kecil, rakyat kebanyakan.
Nah sekarang kamu tidak usah menyesal, " ucap Sunan Gunung Jati.
Pesan ini sangat
berbekas dihati Ki Demang Martapura dan Ki Demang Rengas Papak. Mereka
berjanji tidak akan mengulangi kesalahan seperti waktu lalu, maka
Kanjeng Sunan Gunung Jati memerintahkan mereka untuk kembali ke
pedakuhannya. Dan keduanya kembali menata pedukuhannya dengan baik
sesuai pesan yang dituturkan Sunan Gunung Jati. Setibanya di pedukuhan,
mereka memberi nama pedukuhannya Kedawung, dari kata keduhung (menyesal).
Ada juga nama Pilangsari (hilang sarinya) , blok yang ia beri nama si grubug, dari kata grubug (bohong), tonggoh dari kata tangga-tonggo, genja (keberhasilan), paltuding dari kata tudang-tuding (main tunjuk), jimbangan dari kata jembangan ati (hati sanubari),
cara yang arif untuk mengingat pesan yang dapat merubah kelakuan yang
buruk. Pesan inipun kiranya ingin selalu beliau wariskan kepada generasi
ke generasi.
Ki Demang Rengas Papak atau Ki Gede Kedawung meninggal di Jungjang.
Desa Kedawung
secara admistrative dibagi menjadi dua desa yaitu Kedawung dan
Pilangsari, pada tahun 1984. Desa Kedawung memiliki jumlah penduduk 5.253 Jiwa dengan Luas wilayah 46.965 Ha.
sumber : Sesepuh Desa Kedawung